BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai diskursus baru dalam linguistik,
pragmatik masih tergolong muda untuk dianalisis lebih komprehensif. Namun
demikian, usaha-usaha untuk menjadikannya sebagai kajian keilmuan yang mapan
dalam bidang kebahasaan terus dilakukan. Salah satu upaya itu adalah, memilah
atau memberi batasan kajian antara pragmatik dan semantik. Dalam beberapa
referensi disebut bahwa kajian kedua disiplin ini sama, yaitu makna atau arti.
Yang dalam penjelasan selanjutnya disebutkan kalau pragmatik digambarkan
sebagai ilmu yang mengkaji makna tuturan, sedangkan semantik mengkaji makna
kalimat. Bila tidak ada batasan
yang konkret, keduanya dapat tumpang tindih dan akan menimbulkan kerancuan
serta kebingungan, utamanya di kalangan mahasiswa bahasa. Oleh karena itu,
pemecahan akan hal tersebut urgen adanya.
Kita mendengar, bahwa
deiksis bukan lagi kajian pragmatik, akan tetapi itu kajian semantik.
Pernyataan ini, sementara bagi kita, adalah teka-teki. Namun yang jelas, dalam
bukunya berjudul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, Purwo (1984:17) menyebut
bahwa kajian pragmatik meliputi empat fenomena—atau dalam bahasa Purwo disebut
sebagai "fenomena pragmatik"—yang salah satunya adalah deiksis. Hal senada juga
diungkapkan oleh Levinson (1983:27), bahwa pragmatics is the study of deixis
(at least in part), implicature, presupposition, spech act, and aspects of
discourse structure. Pernyataan Levinson tersebut seperti ditulis oleh
Nadar. Dengan demikian,
tidak ragu lagi bagi kita bahwa deiksis merupakan salah satu bagian dari kajian
pragmatik.
Konsentrasi kami
dalam makalah ini, tentu saja bukan polemik deiksis yang telah disinggung di
atas. Hal di atas, hanya sekapur sirih untuk mengantarkan kita pada pembahasan
kami, yaitu macam-macam deiksis. Dalam praktiknya, kami tidak hanya akan
membahas pelbagai macam deiksis itu, tetapi apa itu deiksis juga kami sampaikan.
Hal tersebut untuk menghindari miskonsepsi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Takrif Deiksis
Seperti
ditulis oleh banyak pakar bahasa, yang antara lain Purwo,
Nadar,
dan secara tidak langsung oleh Kushartanti,
bahwa deiksis berakar kata deik (bahasa Yunani kuno) yang berarti
"tunjuk". Antara lain dalam kata deiknumi,
"menunjukkan" atau deiktitos, "hal penunjukkan secara
langsung". Dengan demikian, Purwo (1984:1) seperti ditik juga oleh Nadar
(2009:54) sampai pada simpulan bahwa sebuah kata bersifat deiksis jika
referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung kepada siapa yang
menjadi pembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu.
Sedangkan Kushartanti (2007:111) menuliskan bahwa deiksis adalah cara merujuk
pada suatu hal yang berkaitan erat dengan konteks penutur. Dengan demikian,
masih menurut Kushartanti, ada rujukan yang berasal dari penutur, dekat
dengan penutur, dan jauh dari penutur.
Dalam makalah pragmatik, Pariawan
banyak mengutip pengertian deiksis menurut para ahli, yaitu Cahyono (1995:217) yang
menurutnya deiksis merupakan suatu cara untuk mengacu ke hakikat tertentu
dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu
oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan, dan Lyons (1977:637) yang
ditulis ulang oleh Djajasudarma (1993:43) yang mendefinisikan deiksis sebagai
lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang
sedang dibicarakan, atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi
ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak
bicara.
Pariawan (2008:6) juga mengutip pernyataan dari Nababan
(1987:40) yang terdapat dalam Setiawan (1997:6) bahwa di bidang linguistik
terdapat pula istilah rujukan atau sering disebut referensi, yaitu kata atau
frase yang menunjuk kata, frase atau ungkapan yang akan diberikan. Hal rujukan
semacam itu, bagi Nababan, disebut deiksis. Di samping itu, Pariawan (2008:6) pun
mengutip dari Setiawan (1997:6) pernyataan Lyons (1977:638) yang mengungkapkan
bahwa pengertian deiksis dibedakan dengan pengertian anafora. Deiksis dapat
diartikan sebagai luar tuturan, dimana yang menjadi pusat orientasi deiksis
senantiasa si pembicara, yang bukan merupakan unsur di dalam bahasa itu
sendiri, sedangkan anafora merujuk dalam tuturan baik yang mengacu kata yang
berada di belakang maupun yang merujuk kata yang berada di depan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan deiksis sebagai hal
atau fungsi menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata yang mengacu kepada persona,
waktu, dan tempat suatu tuturan. Dalam TBBBI,
deiksis adalah gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang
hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan.
Apa yang dijelaskan TBBBI, kemudian oleh Verhaar
diberikan contoh konkretnya, yaitu pada kalimat Suryanto pulang dan Æ
mengambil makanan kecil. Tanda Æ (baca:
angka nol tembus garis miring) menunjukkan ada subjek yang dilesapkan. Menurut
Verhaar (1996:15), tanda Æ tersebut dalam kalimat
dapat memakai kata dia. Kata dia sendiri mengacu pada Suryanto,
dan hal itu dimengerti oleh pendengar karena Suryanto telah disebut terlebih dahulu.
Dengan demikian, berdasarkan beberapa pendapat tersebut,
dapat disimpulkan bahwa deiksis merupakan suatu gejala semantis yang terdapat
pada kata atau konstruksi yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi
pembicaraan dan menunjuk pada sesuatu di luar bahasa. Fenomena deiksis
merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan
konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Kata seperti saya, sini,
sekarang adalah kata-kata deiktis. Kata-kata ini tidak memiliki referen
yang tetap. Referen kata saya, sini, sekarang baru dapat
diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat mana, dan waktu kapan
kata-kata itu diucapkan. Jadi, yang menjadi pusat orientasi deiksis adalah
penutur.
B.
Macam-macam
Deiksis
Purwo dalam disertasi yang
dibukukannya mengidentifikasi deiksis ke dalam dua golongan besar, yaitu deiksis
luar tuturan yang disebutnya deiksis eksofora, dan deiksis dalam tuturan atau
endofora. Deiksis eksofora ada tiga, yaitu deiksis persona, deiksis ruang
(tempat), dan deiksis waktu. Sedangkan deiksis
endofora meliputi anafora dan katafora.
Ajnasitas deiksis
juga dipaparkan oleh Nababan (1987:40)
dalam Pariawan (2008:7) yaitu deiksis orang, deiksis tempat, deiksis
waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial. Dengan
demikian, ada lima deiksis. Adalah deiksis persona (orang), ruang (tempat),
waktu, wacana (anafora dan katafora), serta sosial.
1.
Deiksis
Persona
Deiksis persona dapat dilihat pada
bentuk-bentuk pronomina. Seperti yang ditulis Kushartanti (2007:112) bahwa
bentuk-bentuk pronomina itu sendiri dibedakan atas pronomina orang pertama,
pronomina orang kedua, dan pronomina orang ketiga.
Di
samping itu, penutur bahasa kadang-kadang menyebut dirinya dengan namanya sendiri.
Di antara penutur bahasa Indonesia, sapaan kepada orang kedua tidak hanya kamu
dan Anda, melainkan juga Bapak, Ibu, dan Saudara.
2.
Deiksis
Ruang
Deiksis ruang, dalam Kushartanti
(2007:111) disebutkan bahwa deiksis ini berkaitan dengan lokasi relatif penutur
dan mitra tutur yang terlibat di dalam interaksi. Dalam bahasa Indonesia,
misalnya, kita mengenal di sini, di situ, dan di sana.
Titik tolak penutur diungkapkan dengan ini dan itu.
Perhatikan
contoh berikut. Si Dedy dan si Heru sedang terlibat di dalam percakapan. Dedy
mengambil roti dan mengatakan, "Roti ini enak." Apa yang ditunjuk
oleh Dedy, roti ini, tentu akan disebut Haru sebagai roti itu.
Hal ini terjadi karena titik tolah Dedy dan Heru berbeda.
Kita
juga mengenal kata-kata seperti di sini, di situ, dan ini
untuk merujuk pada sesuatu yang kelihatan atau jaraknya terjangkau oleh
penutur. Selain itu, ada kata-kata seperti di sana dan itu yang
merujuk pada sesuatu yang jauh atau tidak kelihatan, atau jaraknya tidak
terjangkau oleh penutur.
Dalam hal tertentu,
tindakan kita sering kali bertalian dengan ruang (tempat). Jika kita hendak
menunjukkan bagaimana cara mengerjakan sesuatu, misalnya, kita memakai kata begini.
Jika kita hendak merujuk kepada suatu tindakan, kita memakai kata begitu.
3.
Deiksis
Waktu
Seperti ditulis Kushartanti
(2007:112-113), deiksis waktu berkaitan dengan waktu relatif penutur atau
penulis dan mitra tutur atau pembaca. Pengungkapan waktu di dalam setiap bahasa
berbeda-beda. Ada yang mengungkapnya secara leksikal, yaitu dengan kata
tertentu.
Misalnya
kata sekarang; tadi dan dulu; nanti; serta hari
ini, kemarin dan besok. Sekarang mengungkapkan waktu
kini. Tadi dan dulu untuk waktu lampau, nanti untuk waktu
yang akan datang. Hari ini, kemarin, dan besok juga
merupakan hal yang relatif, dilihat dari kapan suatu ujaran diucapkan.
4.
Deiksis
Wacana
Deiksis
wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah
diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987:42) seperti ditik ulang oleh
Pariawan (2008:13). Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora ialah
penunjukkan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam
wacana dengan pengulangan. Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut
kemudian. Misalnya, (a) Syarifah belum mendapat pekerjaan, padahal ijazah sarjananya sudah didapatkan dua tahun
yang lalu dan (b) Karena aromanya yang khas, durian itu banyak dibeli.
Dari kedua contoh di atas dapat kita ketahui bahwa -nya
pada contoh (a) mengacu ke Syarifah yang sudah disebut sebelumnya,
sedangkan pada contoh (b) mengacu ke durian yang disebut kemudian.
5.
Deiksis
Sosial
Nababan
(1987:42) menggeneralisasikan deiksis sosial sebagai suatu rujukan yang
dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran
pembicara dan pendengar. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata.
Dalam beberapa bahasa, perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan
pendengar yang diwujudkan dalam seleksi kata dan atau sistem morfologi kata-kata
tertentu, seperti ditulis kembali oleh Pariawan (2008:13).
Dalam bahasa Sunda umpamanya, memakai kata neda dan
kata dahar (makan), menunjukkan perbedaan sikap atau kedudukan sosial antara
pembicara, pendengar dan atau orang yang dibicarakan/bersangkutan. Secara
tradisional, perbedaan bahasa (variasi bahasa) seperti itu disebut tingkatan
bahasa. Dalam bahasa Sunda, ada bahasa Sunda halus dan bahasa Sunda kasar.
Praktiknya, bahasa Sunda halus itu ada yang untuk di bawah kita, untuk sesama,
dan di atas kita dari segi usia, dan hirarki kekeluargaan. Aspek
berbahasa seperti ini disebut kesopanan berbahasa atau etiket
berbahasa. Dengan
kata lain, deiksis sosial mengacu pada kesopanan berbahasa.
Semakin ilmu itu digali, maka semakin banyak yang tidak kita
ketahui, begitulah pepatah mengatakan. Semoga kita terpicu untuk
terus maju dan tidak lekas menyerah pada keadaan. Sukses!
Kushartanti, "Pragmatik," dalam Kushartanti.
dkk., ed. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 111.
I Wayan Pariawan, "Deiksis," (Makalah Pragmatik
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, 2008), h. 5-6.